Beranda | Artikel
Hadits Arbain Ke 21 – Hadits Tentang Istiqamah
Selasa, 25 Agustus 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin

Hadits Arbain Ke 21 – Hadits Tentang Istiqamah merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 6 Muharram 1442 H / 25 Agustus 2020 M.

Status Program Kajian Kitab Hadits Arbain Nawawi

Status program kajian Hadits Arbain Nawawi: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa sore pekan ke-2 dan pekan ke-4, pukul 16:30 - 18:00 WIB.

Download juga kajian sebelumnya: Hadits Arbain Ke 20 – Hadits Tentang Malu

Kajian Hadits Arbain Ke 21 – Hadits Tentang Istiqamah

Hari ini kita akan berpindah pada hadits nomor 21 dari kitab yang agung ini. Yaitu hadits Sufyan bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafi Radhiyallahu ‘Anhu. Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, dari Sufyan bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasannya beliau berkata: “Saya telah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Wahai Rasulullah, katakanlah dalam Islam ini suatu perkataan yang aku tidak akan bertanya tentangnya kepada seorangpun selain engkau’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ

“Katakanlah: ‘aku telah beriman kepada Allah’, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)

Jadi ini adalah hadits riwayat Muslim dari Sufyan bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau adalah Sufyan bin ‘Abdullah Ats-Tsaqafi, seorang sahabat yang berasal dari kota Thaif dan termasuk rombongan yang mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang kemudian dikenal sebagai utusan Thaif.

Thaif adalah sebuah kota pegunungan dengan hawa yang dingin menyejukkankan sekitar 80 kilo dari kota Mekah. Dan beliau juga pernah diamanahi untuk memegang urusan zakat di kota Thaif. Bahkan pernah juga menjadi pemimpin di kota Thaif yang mungkin setingkat bupati atau yang semacamnya di kota Thaif ini dan beliau juga meriwayatkan 5 hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan para penulis biografi beliau tidak menyebutkan pada tahun berapa beliau lahir atau wafat.

Dalam hadits ini Sufyan bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafi seperti sahabat lain yang menunjukkan semangat mereka untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang perkara yang bermanfaat untuk mereka. Menjadikan obrolan mereka obrolan yang berkualitas, bermanfaat untuk dunia akhirat mereka. Dan seperti kita juga, mereka menginginkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kata-kata yang pendek tapi sarat makna, pesan-pesan yang ringkas tetapi memiliki makna yang dalam. Maka ini adalah salah satunya.

Lihat bagaimana Sufyan bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafi berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulallah, katakanlah untuk saya dalam Islam ini sebuah perkataan yang aku tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain tentang hal itu, cukup aku mendengarnya darimu Wahai Rasulullah satu perkataan yang cukup.” Ini menunjukkan bahwasanya mereka haus, mereka sangat ingin mendengar Jawami’ul Kalim (kalimat-kalimat pendek sarat makna dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Yang Jawami’ul Kalim ini kemudian dihimpun oleh para ulama dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah termasuk kalimat yang memiliki sifat Jawami’ul Kalim, pendek dan sarat makna.

Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memenuhi permintaan sahabat beliau. Dan beliau mengatakan: “Katakanlah wahai Sufyan bin ‘Abdillah, aku telah beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” Jadi beliau mengajarkan dua hal, yang pertama mengikrarkan, menyatakan dan bersaksi bahwasanya Tuhanku adalah Allah, aku beriman kepada Allah, setelah itu istiqamah di atas jalan itu.

Dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan:

قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Katakanlah: ‘Tuhanku adalah Allah’, kemudian istiqamahlah di atas hal itu.”

Dua riwayat ini memiliki makna yang agak berbeda. Adapun riwayat yang kedua, yaitu “Katakanlah: Tuhanku adalah Allah kemudian istiqamahlah di atasnya.” Ini senada dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّـهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣٠﴾

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqamah di atas hal itu, akan turun kepada mereka Malaikat di saat kematian mereka dan para Malaikat ini mengatakan kepada mereka: ‘Jangan kalian takut, jangan kalian sedih sedih, dan bergembiralah dengan surga telah dijanjikan untuk kalian.`” (QS. Fussilat[41]: 30)

Orang-orang yang telah mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqaham di atas hal itu” maka mereka akan mendapatkan keutamaan seperti yang telah disebutkan dalam ayat. Mereka akan didatangi oleh Malaikat saat mereka meninggal kemudian dikatakan kepada mereka: “Jangan kalian takut kepada urusan setelah kematian dan jangan kalian sedih dengan apa yang kalian tinggalkan, perpisahan dengan keluarga kalian, harta kalian di dunia, dan berbahagialah kalian dengan surga yang telah dijanjikan kepada kalian.

Ini senada dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jadi yang dimaksud adalah seorang muslim hendaknya bertauhid kepada Allah, bersyahadat kepada Allah, mengikrarkan keimanan ini, mengumumkan tauhid ini kepada orang lain agar mereka tahu. Kita katakan: “Tuhan kita adalah Allah” kemudian kita istiqamah diatas keyakinan bahwa Tuhan kita adalah Allah. Karenanya, saat menafsirkan ayat ini Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan bahwa makna istiqamah dalam ayat ini adalah mereka tidak berbuat syirik kepada Allah, mereka tidak menyekutukan Allah.

Jadi yang dituntut adalah mengikrarkan Tuhan kami adalah Allah kemudian yang kedua adalah istiqamah dalam arti tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun. Ini kelihatannya sederhana, tapi ternyata tidak semudah itu. Karena banyak orang yang menyembah Allah, mencintai Allah, mengagungkan Allah, bersama keyakinan itu mereka masih menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang-orang musyrikin pada zaman jahiliyah juga mereka mengenal Allah, mereka mencintai Allah, bahkan mereka menjadikan Allah lebih tinggi daripada Tuhan-Tuhan mereka, mereka memiliki tauhid rububiyah, tapi bersama dengan ibadah mereka kepada Allah, cinta mereka kepada Allah, pengagungan mereka kepada Allah, mereka masih berbuat syirik dengan menyembah selain Allah meskipun alasan mereka bahwa sesembahan ini adalah pemberi syafaat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya mereka mengenal Allah, mereka mengagungkan Allah, mereka bahkan menjadikan Allah lebih tinggi derajatnya daripada Tuhan-Tuhan sesembahan mereka, yaitu berhala-berhala yang mereka sembah. Jadi mereka sudah menuhankan Allah, tapi mereka tidak istiqamah, mereka tidak konsisten dengan keimanan itu. Karena mereka masih menyembah selain Allah, meminta kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah. Mereka tidak istiqamah.

Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu juga mengatakan arti istiqamah adalah mereka tidak berpaling kepada Tuhan yang lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi kalau kita sudah meyakini Allah adalah Tuhan kita, kita istiqamah di atas keyakinan bahwasannya Allah adalah Tuhan kita, Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dan diminta, kita tidak menyembelih untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, itulah yang namanya tauhid.

Adapun kalau kita mengatakan cinta Allah, menyembah Allah, tapi masih menyembelih untuk selain Allah, masih meminta kepada orang-orang yang sudah meninggal, masih menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka berarti kita belum istiqamah, kita masih berpaling kepada Tuhan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Beliau Abu Bakar Ash-Shiddiq juga mengatakan: “Kemudian mereka istiqamah di atas keyakinan bahwasanya Allah adalah Tuhan mereka.” Ini adalah yang dituntut dari kita. Ini menjelaskan tentang pentingnya tauhid dan juga pentingnya istiqamah di atas tauhid. Maka dengan penafsiran seperti ini maka hadits ini dan juga ayat yang baru kita bacakan tadi senada dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Dan sembahlah Allah dan jangan engkau menyekutukan Dia dengan sesuatupun.” (QS. An-Nisa[4]: 36)

Kita diperintahkan untuk mengesakan Allah, bertauhid kepada Allah, dilarang untuk menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga senada dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَـٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٨٢﴾

Dan orang-orang yang beriman kemudian mereka tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka akan mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am[6]: 82)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwasanya orang-orang yang beriman, kemudian mereka tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzaliman, yang dimaksud dengan kedzaliman di sini adalah kedzaliman akbar, yaitu syirik. Jadi kalau mereka tidak mencampuri keimanan mereka dengan kemusyrikan, maka mereka akan mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.

Saat mendengar turunnya ayat ini para sahabat merasa berat. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, syaratnya berat sekali. Siapa diantara kami yang tidak mendzalimi dirinya? Kalau syarat untuk bisa mendapatkan keamanan dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah beriman kemudian tidak mencampuri keimanan dengan kedzaliman, maka itu sangat berat untuk kami Wahai Rasulullah. Karena kami semua tidak bisa memenuhi syarat itu. Kami semuanya memang telah beriman kepada Allah, tapi kami masih berbuat dzalim.” Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan, beliau mengurai problem ini, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud kedzaliman di sini bukan kedzaliman seperti yang kalian pahami. Tapi yang dimaksud adalah kedzaliman akbar, seperti yang disebutkan oleh Luqman ketika menasihati putra beliau:

…يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّـهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴿١٣﴾

Wahai ananda, jangan engkau berbuat syirik kepada Allah, sungguh syirik itu adalah kedzaliman yang besar.” (QS. Luqman[31]: 13)

Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan lengkapnya..

Download mp3 Kajian Hadits

Lihat juga: Hadits Arbain Ke 1 – Innamal A’malu Binniyat


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48922-hadits-arbain-ke-21-hadits-tentang-istiqamah/